Senin, 26 Oktober 2015

View Tipi

Busung Lapar
 

Hampir meneteskan mata, saat menonton berita di mana ada seorang anak balita yang dadanya kurus kering, tangannya kecil, tetapi perutnya buncit. Yah anak yang menderita busung lapar. Sudah 50 anak lebih yang diketahui menderita busung lapar. Dan itu semua terjadi di Indonesia, mereka adalah tetangga kita.

Busung lapar terjadi di negara yang subur, yang sumber dayanya masih melimpah. Bahkan kasus busung lapar terjadi di provinsi yang merupakan salah satu lumbung padi bagi Indonesia. Bukan terjadi di nagara yang kering tandus, bukan juga terjadi di negara yang sudah kehabisan sumber daya, bukan terjadi di negara yang selalu diterpa perang suku, seperti di Afrika.

Katanya, negeri kita ini adalah negeri yang penduduknya ramah dan suka bergotong royong. Itu yang saya dengar waktu belajar Pendidikan Moral Pancasila. Bukankah negeri ini dihuni oleh umat Islam, yang jumlahnya terbanyak di seluruh dunia, dimana ajarannya mengajarkan untuk membayar zakat dan memberi makan kaum miskin.

Mungkin benar bahwa penduduk Indonesia ramah-ramah dan suka gotong royong. Mungkin benar penduduk Indonesia dihuni oleh umat Islam yang banyak dan tahu bahwa harus membayar zakat dan memberi makan kaum miskin. Mungkin benar, tetapi bagi sebagian mereka bukannya tidak mau menolong tetapi jangankan untuk menolong orang lain, untuk kebutuhan mereka pun masih belum mencukupi.

Namun, tidak semua rakyat Indonesia miskin. Tidak, coba tengok di jalan raya. Mobil mewah lalu lalang, bangunan-bangunan yang tinggi dan megah, restoran mahal yang selalu dipenuhi pengunjung, jemaah haji yang telah berulang-ulang menunaikan ibadah haji, para pencari hiburan malam yang menghamburkan uang untuk minuman dan perempuan, .... masih terlalu banyak yang tidak bisa saya sebutkan.

Belum lagi, uang rakyat yang dijadikan "dana taktis", uang rakyat yang dipinjamkan kepada "pengusaha" nakal, calon pemimpin yang bisa bagi-bagi uang, wakil kita yang minta naik gaji Rp 15 juta, anggaran DPRD yang ternyata bisa dipangkas, membeli helicopter dengan harga yang berlipat, dan lain-lain yang belum terungkap ke publik.

Dimanakah nurani mereka?

Kalimat ini pun sering muncul, namun dari pada kita mempertanyakan apakah orang lain punya nurani, yang belum pasti punya atau tidak? Akan lebih baik kita manfaatkan saja orang yang sudah pasti punya nurani, yaitu diri kita sendiri. Dari pada kita menunggu orang lain, lebih baik kita sendiri yang bergerak. Apa yang harus kita lakukan? Saya selalu mengatakan banyak, meskipun sekecil apa pun kontribusi kita di tunggu oleh mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;